Kerajaan
Ternate dan Tidore –
Di Maluku terdapat dua kerajaan yang
berpangaruh, yakni Ternate dan Tidore. Kerajaan Ternate terdiri dari
persekutuan lima daerah, yaitu Ternate, Obi, Bacan, Seram, Ambon, (disebut
Uli Lima) sebagai pimpinannya adalah Ternate. Adapun Tidore terdiri dari
sembilan satuan negara disebut Uli Siwa yang terdiri dari Makyan,
Jailolo, dan daerah antara Halmahera-Irian.
Kedatangan Islam ke Maluku tidak dapat
dipisahkan dari jalur perdagangan yang terbentang antara pusat lalu lintas
internasional di Malaka, Jawa, dan Maluku. Menurut tradisi setempat, sejak abad
ke-14, Islam sudah masuk daerah Maluku. Raja Ternate kedua belas, Molomateya
(1350-1357) bersahabat karib dengan orang Arab yang memberi petunjuk mengenai
cara membuat kapal.
Raja yang benar-benar memeluk Islam
adalah Zainal Abidin (1486-1500). Ia mendapat ajaran Islam dari Sunan Giri.
Kekuasaan Ternate dan Tidore mencakup pulau-pulau yang ada di sekitarnya.
Penghasilan utamanya adalah cengkih, pala, rempah-rempah, dan ramuan
obat-obatan yang sangat diperlukan oleh masyarakat Eropa.
Ketika bangsa Portugis datang ke
Ternate, mereka bersekutu dengan bangsa itu (1512). Demikian juga ketika bangsa
Spanyol datang ke Tidore, mereka juga bersekutu dengan bangsa itu (1512).
Portugis akhirnya dapat mendirikan benteng Sao Paulo di Ternate dan banyak
melakukan monopoli perdagangan. Tindakan ini menimbulkan perlawanan yang
dipimpin oleh Sultan Hairun (1550-1570). Tindakan Musquita menangkap Sultan
Hairun dilepas setelah kembali, tetapi kemudian dibunuh setelah paginya disuruh
berkunjung ke benteng Portugis.
Sultan Baabullah (1570-1583) memimpin
perlawanan untuk mengenyahkan Portugis dari Maluku sebagai balasan terhadap
kematian ayahnya. Benteng Portugis dikepung selama 5 tahun, tetapi tidak
berhasil. Sultan Tidore yang berselisih dengan Ternate kemudian membantu melawan
Portugis. Akhirnya, benteng Portugis dapat dikuasai setelah Portugis menyerah
karena dikepung dan kekurangan makanan. Tokoh dari Tidore yang anti-Portugis
adalah Sultan Nuku.
Pada tanggal 17 Juli 1780, Pata Alam
dinobatkan sebagai vasal dari VOC dengan kewajiban menjaga keamanan di
wilayahnya, yaitu Maba, Weda, Patani, Gebe, Salawatti, Missol, Waiguna, Waigen,
negeri-negeri di daratan Irian, Pulau Bo, Popa, Pulau Pisang, Matora, dan
sebagainya. Di sisi lain, Nuku terus mengadakan perlawanan terhadap Belanda di
Ternate dan Tidore.
Pada tahun 1783, Pata Alam menjalankan
strategi untuk meraih loyalitas raja-raja Irian. Akan tetapi, usaha tersebut
menemui kegagalan, karena para utusan dengan pasukan mereka berbalik memihak
Nuku. Akhirnya, Pata Alam dituduh oleh Kompeni bersekongkol dengan Nuku. Pata
Alam ditangkap dan rakyat pendukungnya dihukum. Peristiwa ini sering disebut
Revolusi Tidore (1783).
Untuk mengatur kembali Tidore, pada
tanggal 18 Oktober 1783, VOC mengangkat Kamaludin untuk menduduki takhta Tidore
sebagai vasal VOC. Di sisi lain, perjuangan Nuku mengalami pasang surut. Pada
tahun 1794, gerakan tersebut mendapat dukungan dari Inggris. Sekembalinya dari
Sailan, Pangeran Jamaludin beserta angkatannya menggabungkan diri dengan Nuku.
Pada tanggal 12 April 1797 Angkatan Laut Nuku muncul di Tidore. Hampir seluruh
pembesar Tidore menyerah, kecuali Sultan Kamaludin berserta pengawalnya. Mereka
menyerahkan diri ke Ternate. Tidore diduduki oleh Nuku hingga meninggal tanggal
14 November 1805 dan digantikan oleh Zaenal Abidin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar