Selasa, 06 Mei 2014

KERAJAAN PAJANG


KERAJAAN PAJANG
Awal berdirinya Kerajaaan Pajang
Pada abad ke-14 Pajang sudah disebut dalam kitab Negarakertagama karena dikunjungi oleh Hayam Wuruk dalam perjalanannya memeriksa bagian Barat. Antara abad ke-11 dan 14 di Jawa Tengah Selatan tidak ada Kerajaan tetapi Majapahit masih berkuasa sampai kesana. Sementara itu, di Demak mulai muncul Kerajaan kecil yang didirikan oleh tokoh-tokoh beragama Islam. Namun, sampai awal abad ke-16 kewibawaan raja Majapahit masih diakui.
Baru pada akhir abad ke 17 dan awal abad ke-18 para penulis kronik di Kartasura menulis seluk beluk asal usul raja-raja Mataram dmana Pajang dilhat sebagai pendahulunya. Pajang sendiri sebagai kelanjutan dari Pengging pada tahun 1618 yang pernah dihancurkan ibukota dan sawah ladangnya oleh pasukan-pasukan dari Mataram karena memberontak. Di bekas kompleks keraton Raja Pajang yang dikubur di Butuh banyak ditemukan sisa-sisa keramik asal negeri Cina. 
Ceritera mengenai sejarah Pajang malah termuat dalam kitab Babad Banten yang menyebutkan Ki Andayaningrat berputera 2 orang yaitu, Kebo Kenanga dan Kebo Kanigara. Meskipun Majapahit ambruk pada tahun 1625, Pengging dibawah Kebo Kenanga berdaulat terus hingga pertengahan abad ke-16. untuk menundukkan pengging Raja Demak memanfaatkan jasa Ki Wanapala dan Sunan Kudus, dengan cara pendahuluan berupa adu kekuatan ngelmu.
Dua tahun kemudian, Kebo Kenanga berhasil dibunuh sedangkan anak laki-lakinya yaitu Jaka Tingkir kelak mengabdi ke Istana Demak untuk akhirnya mendirikan Kerajaan Pajang dengan sebutan Adi Wijaya.

2.2 Raja-raja yang memerintah di Kerajaan Pajang

JAKA TINGKIR
Nama aslinya adalah Mas Karèbèt, putra Ki Ageng Pengging atau Ki Kebo Kenanga. Ketika ia dilahirkan, ayahnya sedang menggelar pertunjukan wayang beber dengan dalang Ki Ageng Tingkir.[1] Kedua ki ageng ini adalah murid Syekh Siti Jenar. Sepulang dari mendalang, Ki Ageng Tingkir jatuh sakit dan meninggal dunia.
Sepuluh tahun kemudian, Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh memberontak terhadap Kesultanan Demak. Sebagai pelaksana hukuman ialah Sunan Kudus. Setelah kematian suaminya, Nyai Ageng Pengging jatuh sakit dan meninggal pula. Sejak itu, Mas Karebet diambil sebagai anak angkat Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir). Mas Karebet tumbuh menjadi pemuda yang gemar bertapa, dan dijuluki Jaka Tingkir. Guru pertamanya adalah Sunan Kalijaga. Ia juga berguru pada Ki Ageng Sela, dan dipersaudarakan dengan ketiga cucu Ki Ageng yaitu, Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi.
Silsilah Jaka Tingkir :
Andayaningrat (tidak diketahui nasabnya) + Ratu Pembayun (Putri Raja Brawijaya)→ Kebo kenanga (Putra Andayaningrat)+ Nyai Ageng Pengging→ Mas Karebet/Jaka Tingkir.
Meski dalam Babad Jawa, Adiwijaya lebih dilukiskan sebagai Raja yang serba lemah, tetapi kenyataannya sebagai ahli waris Kerajaan Demak ia mampu menguasai pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan baik. Perpindahan pusat Kerajaan ke pedalaman yang dilanjutkan lagi oleh Raja Mataram berpengaruh besar atas perkembangan peradaban Jawa pada abad ke-18 dan 19.
Daerah kekuasaan Pajang mencakup di sebelah Barat Bagelen (lembah Bogowonto) dan Kedu (lembah Progo atas).

Di zaman Adiwijaya memerintah Pajang, yaitu pada tahun 1578 seorang tokoh pemimpin Wirasaba, yang bernama Wargautama ditindak oleh pasukan-pasukan kerajaan dari pusat. Berita dari Babad Banyumas ini menunjukkan masih kuatnya Pajang menjelang akhir pemerintahan Adiwijaya. Kekuasaan Pajang ke Timur meliputi wilayah Madiun dan disebutkan bahwa Blora pada tahun 1554 menjadi rebutan antara  Pajang dan Mataram.
Ada dugaan bahwa Adiwijaya sebgai raja islam berhasil dalam diplomasinya sehingga pada tahun 1581, ia diakui oleh raja-raja kecil yang penting dikawasan Pesisir Jawa Timur. Untuk peresmiannya pernah diselenggarakan pertemuan bersama di istana Sunan Prapen di Giri, hadir pada kesempatan itu para Bupati dari Jipang, Wirasaba (Majaagung), Kediri, Pasuruan, Madiun, Sedayu, Lasem,Tuban, dan Pati. Pembicara yang mewakili tokokh-tokoh Jawa Timur adalah Panji Wirya Krama, Bupati Surabaya. Disebutkan pula bahwa Arosbaya (Madura Barat) mengakui Adiwijaya sehubunga dengan itu bupatinya bernama Panembahan Lemah Duwur diangkat menantu Raja Pajang.
ARYA PANGIRI
Arya Pangiri adalah putra Sunan Prawoto raja keempat Demak, yang tewas dibunuh Arya Penangsang tahun 1549. Ia kemudian diasuh bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat di Jepara.
Arya Penangsang kemudian tewas oleh sayembara yang diadakan Hadiwijaya bupati Pajang. Sejak itu, Pajang menjadi kerajaan berdaulat di mana Demak sebagai bawahannya. Setelah dewasa, Arya Pangiri dinikahkan dengan Ratu Pembayun, putri tertua Sultan Hadiwijaya dan dijadikan sebagai bupati Demak.
Sepeninggal Sultan Hadiwijaya akhir tahun 1582 terjadi permasalahan takhta di Pajang. Putra mahkota yang bernama Pangeran Benawa disingkirkan Arya Pangiri dengan dukungan Sunan Kudus. Alasan Sunan Kudus adalah usia Pangeran Benawa lebih muda daripada istri Pangiri, sehingga tidak pantas menjadi raja.
Pangeran Benawa yang berhati lembut merelakan takhta Pajang dikuasai Arya Pangiri sedangkan ia sendiri kemudian menjadi bupati Jipang Panolan (bekas negeri Arya Penangsang).
Tokoh Sunan Kudus yang diberitakan Babad Tanah Jawi perlu dikoreksi, karena Sunan Kudus sendiri sudah meninggal tahun 1550. Mungkin tokoh yang mendukung Arya Pangiri tersebut adalah penggantinya, yaitu Panembahan Kudus, atau mungkin Pangeran Kudus
Arya Pangiri menjadi raja Pajang sejak awal tahun 1583 bergelar Sultan Ngawantipura. Ia dikisahkan hanya peduli pada usaha untuk menaklukkan Mataram daripada menciptakan kesejahteraan rakyatnya. Dia melanggar wasiat mertuanya (Hadiwijaya) supaya tidak membenci Sutawijaya. Ia bahkan membentuk pasukan yang terdiri atas orang-orang bayaran dari Bali, Bugis, dan Makassar untuk menyerbu Mataram.
Arya Pangiri juga berlaku tidak adil terhadap penduduk asli Pajang. Ia mendatangkan orang-orang Demak untuk menggeser kedudukan para pejabat Pajang. Bahkan, rakyat Pajang juga tersisih oleh kedatangan penduduk Demak. Akibatnya, banyak warga Pajang yang berubah menjadi perampok karena kehilangan mata pencaharian. Sebagian lagi pindah ke Jipang mengabdi pada Pangeran Benawa.

PANGERAN BENAWA
Pangeran Benawa adalah raja ketiga Kesultanan Pajang yang memerintah tahun 1586-1587, bergelar Sultan Prabuwijaya.
Pangeran Benawa adalah putra Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir, raja pertama Pajang. Sejak kecil ia dipersaudarakan dengan Sutawijaya, anak angkat ayahnya, yang mendirikan Kesultanan Mataram.
Pangeran Benawa memiliki putri bernama Dyah Banowati yang menikah dengan Mas Jolang putra Sutawijaya. Dyah Banowati bergelar Ratu Mas Adi, yang kemudian melahirkan Sultan Agung, raja terbesar Mataram.
Selain itu, Pangeran Benawa juga memiliki putra bernama Pangeran Radin, yang kelak menurunkan Yosodipuro dan Ronggowarsito, pujangga-pujangga besar Kasunanan Surakarta. Pangeran Benawa dikisahkan sebagai seorang yang lembut hati. Ia pernah ditugasi ayahnya untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya terhadap Pajang. Waktu itu Benawa berangkat bersama Arya Pamalad (kakak iparnya yang menjadi adipati Tuban) dan Patih Mancanegara.
Sutawijaya menjamu ketiga tamunya dengan pesta. Putra sulung Sutawijaya yang bernama Raden Rangga tidak sengaja membunuh seorang prajurit Tuban, membuat Arya Pamalad mengajak rombongan pulang.
Sesampai di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, bahwa Mataram berniat memberontak terhadap Pajang. Sementara itu Benawa melaporkan kebaikan Sutawijaya, bahwa terbunuhnya prajurit Tuban karena ulahnya sendiri.
Sutawijaya akhirnya terbukti memerangi Pajang tahun 1582, dan berakhir dengan kematian Sultan Hadiwijaya. Pangeran Benawa yang seharusnya naik takhta disingkirkan oleh kakak iparnya, yaitu Arya Pangiri adipati Demak.
Benawa kemudian menjadi adipati Jipang Panolan. Pada tahun 1586 ia bersekutu dengan Sutawijaya untuk menurunkan Arya Pangiri dari takhta, karena kakak iparnya itu dianggap kurang adil dalam memerintah.
Dikisahkan, Arya Pangiri hanya sibuk menyusun usaha balas dendam terhadap Mataram. Orang-orang Demak juga berdatangan, sehingga warga asli Pajang banyak yang tersisih. Akibatnya, penduduk Pajang sebagian menjadi penjahat karena kehilangan mata pencaharian, dan sebagian lagi mengungsi ke Jipang.
Persekutuan Benawa dan Sutawijaya terjalin. Gabungan pasukan Mataram dan Jipang berhasil mengalahkan Pajang. Arya Pangiri dipulangkan ke Demak. Benawa menawarkan takhta Pajang kepada Sutawijaya. Namun Sutawijaya menolaknya. Ia hanya meminta beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di Mataram. Sejak itu, Pangeran Benawa naik takhta menjadi raja baru di Pajang bergelar Sultan Prabuwijaya.

BERBAGAI ASPEK PADA KERAJAAN PAJANG

Aspek Sosial Budaya
Pada zaman Pakubuwono I dan Jayanegara bekerja sama untuk menjadikan Pajang semakin maju dibidang pertanian sehingga Pajang menjadi  lumbung beras pada abad ke-16 sampai abad 17, kerja sama tersebut saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Kehidupan rakyat Pajang mendapat pengaruh Islamisasi yang cukup kental sehingga masyarakat Pajang sangat mengamalkan syariat Islam dengan sungguh-sungguh.
Aspek Ekonomi
Pada zaman Paku Buwono 1 (1708) ketika Ibukota Mataram masih ada di Kartasura, ada kerjasama yang baik antara Surakarta pusat dengan Jayengrana bupati Surabaya. Pada masa itu seluruh Jawa Timur kompak dalam mendukung kerjasama antara PakuBuwono 1 dan Jayengrana.
Pajang mengalami kemajuan di bidang pertanian sehingga menjadi lumbung beras dalam abad ke-16 dan 17. Lokasi pusat kerajaaan Pajang ada di dataran rendan tempat bertemunya sungai Pepe dan Dengkeng (ke dua-duanya bermata air di lereng gunung Merapi) dengan bengawan sala. Irigasi berjalan lancar karena air tanah di sepanjan tahun cukup untuk mengairi sehingga pertanian di Pajang maju.
Di zaman Kerajaan Demak baru muncul, Pajang telah mengekspor beras dengan mengangkutnya melalui perniagaan yang berupa Bengawan Sala. Sejak itu Demak sebagai negara maritim menginginkan dikuasainya lumbung-lumbung beras di pedalaman yaitu Pajang dan kemudian juga mataram, supaya dengan cara demikian dapat berbentuk negara ideal agraris maritim.

        Aspek Politik
Arya Penangsang membuat saluran air melingkari Jipang Panolan dan dihubungkan dengan Bengawan Solo.  Karena pada sore hari air Bengawan Solo pasang maka air di saluran juga mengalami pasang. Oleh karena itu saluran tersebut dikenal dengan nama Bengawan Sore. Sebetulnya Arya Penangsang sudah tidak berhak mengklaim tahta Demak kepada Sultan Hadiwijaya, karena Pajang adalah sebuah kerajaan tersendiri. Akan tetapi dendamnya kepada putera dan mantu Sultan Trenggono belum pupus. Dia kembali mengirim pembunuh gelap untuk membunuh Sultan Hadiwijaya, mengulangi keberhasilan pembunuhan terhadap Sunan Prawata. Akan tetapi pembunuhan tersebut tidak berhasil.
Dikisahkan Sunan Kalijaga memohon kepada Sunan Kudus agar para sepuh, Wali sebagai ulama dapat menempatkan diri sebagai orang tua. Tidak ikut campur dalam urusan “rumah tangga” anak-anak. Biarkanlah Arya Penangsang dan Hadiwijaya menyelesaikan persoalanya sendiri. Dan yang sepuh sebagai pengamat. Sunattulah akan berlaku bagi mereka berdua, ‘Sing becik ketitik sing ala ketara’. Wali lebih baik mensyi’arkan agama tanpa menggunakan kekuasaan. Biarkanlah urusan tata negara dilakukan oleh ahlinya masing-masing. Wali adalah ahli da’wah bukan ahli tata negara. Jangan sampai  para Wali terpecah belah karena berpihak kepada salah satu diantara mereka. Apa kata rakyat jelata, jika melihat para Wali ‘udreg-udregan’, sibuk berkelahi  sendiri.
Hampir semua Guru menyampaikan: “Setelah tidak ada aku nanti, mungkin pentolan-pentolan  kelompokku sudah tidak punya ‘clash of vision’, tetapi mereka tetap punya ‘clash of minds’, ‘clash of egoes’, mereka merasa bahwa tindakan yang dipilihnya benar menurut pemahamannya, dan kalian akan melihat banyaknya aliran muncul”. seandainya Guru masih hidup maka kebenaran dapat ditanyakan dan tidak akan ada permasalahan. Mereka yang gila kekuasaan menggunakan pemahaman terhadap wasiat Guru sebagai alat untuk membangun kekuasaan. Yang terjadi bukan perang berdasarkan perbedaan keyakinan,  tetapi perebutan kekuasaan menggunakan perbedaan pemahaman atau keyakinan sebagai alat yang ampuh.
Dikisahkan Sunan Kudus sebagai Guru Sultan Hadiwijaya, mengundang Sultan untuk datang ke Kudus untuk mendinginkan suasana. Pada saat itu terjadi perang mulut antara Arya Penangsang dan Sultan Hadiwijaya dan mereka saling menghunus keris. Konon Sunan Kudus berteriak: “Apa-apaan kalian! Penangsang cepat sarungkan senjatamu, dan masalahmu akan selesai!” Arya Penangsang patuh dan menyarungkan keris ‘Setan Kober’nya. Setelah pertemuan usai, konon Sunan Kudus menyayangkan Arya Penangsang, maksud Sunan Kudus adalah menyarungkan keris ke tubuh Sultan Hadiwijaya dan masalah akan selesai.
Akhirnya Arya Penangsang dengan kuda ‘Gagak Rimang’nya dipancing dengan kuda betina Sutawijaya yang berada di luar Bengawan Sore atas saran penasehat Ki Gede Pemanahan dan ki Penjawi. Dan, Arya Penangsang  menaiki ‘Gagak Rimang’ yang bersemangat menyeberangi Bengawan Sore. Begitu berada di luar Bengawan Sore kesaktian Arya Penangsang  berkurang yang akhirnya dia dapat terbunuh. Atas jasanya Ki Penjawi diberi tanah di Pati dan Ki Gede Pemanahan diberi tanah di Mentaok, Mataram. Sutawijaya adalah putra Ki Gede Pemanahan dan merupakan putra angkat Sultan Hadiwijaya sebelum putra kandungnya,  Pangeran Benawa lahir. Sutawijaya konon dikawinkan dengan putri Sultan sehingga Sutawijaya yang akhirnya menjadi  Sultan Pertama Mataram yang bergelar Panembahan Senopati, anak keturunannya masih berdarah Raja Majapahit.
KEMUNDURAN KERAJAAN PAJANG
Sepulang dari perang, Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dan meninggal dunia. Terjadi persaingan antara putra dan menantunya, yaitu Pangeran Benawa dan Arya Pangiri sebagai raja selanjutnya. Arya Pangiri didukung Panembahan Kudus berhasil naik takhta tahun 1583.
Pemerintahan Arya Pangiri hanya disibukkan dengan usaha balas dendam terhadap Mataram. Kehidupan rakyat Pajang terabaikan. Hal itu membuat Pangeran Benawa yang sudah tersingkir ke Jipang, merasa prihatin. Pada tahun 1586 Pangeran Benawa bersekutu dengan Sutawijaya menyerbu Pajang. Meskipun pada tahun 1582 Sutawijaya memerangi Sultan Hadiwijaya, namun Pangeran Benawa tetap menganggapnya sebagai saudara tua.
Perang antara Pajang melawan Mataram dan Jipang berakhir dengan kekalahan Arya Pangiri. Ia dikembalikan ke negeri asalnya yaitu Demak. Pangeran Benawa kemudian menjadi raja Pajang yang ketiga. Pemerintahan Pangeran Benawa berakhir tahun 1587. Tidak ada putra mahkota yang menggantikannya sehingga Pajang pun dijadikan sebagai negeri bawahan Mataram. Yang menjadi bupati di sana ialah Pangeran Gagak Baning, adik Sutawijaya. Sutawijaya sendiri mendirikan Kesultanan Mataram di mana ia sebagai raja pertama bergelar Panembahan Senopati.


KERAJAAN MAJAPAHIT


KERAJAAN MAJAPAHIT

Majapahit berdiri dari reruntuhan kerajaan Singasari oleh Raden Wijaya (1292-1309) dan merupakan kerajaan terbesar di Indonesia sehingga di sebut  juga Negara kesatuan ke dua.
Prasati Butak berisi tentang kerajaan Singasari dan perjuangan awal Raden Wijaya membangun kerajaan Majapahit.
Setelah kerajaan Singasari hancur, Raden Wijayabersama-sama pengikutnya lari karena dikejar tentaraKediri. Sampai di desa Kudadu mendapat bantuan daridesa di Kudadu, kemudian melanjutkan perjalananke Madura minta perlindungan kepada Aria Wiraraja.Raden Wijaya disuruh pura-pura menyatakan takluk,sesudah dipercaya Jayakatwang agar minta daerah di hutanTarik. Di Tarik tersebut Raden Wijaya mendirikan kerajaanyang kemudian kita kenal dengan kerajaan Majapahit.
Raden wijaya menihkahi ke empat anak Kertanegara untuk memperkuat kedudukannya dan dapat di katakana sebagai perkawinan politik karena agar tidak terjadi perebutan kekuasaan, anak Kertanegara tersebut adalah Tribuana, Prajnaparamitha,Narendra duhita,dan Gayatri dan serta seorang putri dari ekspedisi pamalayu yaitu Dara Petak.
Raden Wijaya meninggal pada tahun 1309 dan di makamkan di Candi Simping (Blitar).
Raja selanjutnya adalah Kalagemet (Jayanegara) anak Raden Wijaya dengan Tribuana,namun banyak pemberontakan karena pemerrintahannya yang kurang berbobot dan ada rasa tidak puas dari pejuang-pejuang Majapahit,Pemberontakan tersebut antara lain :
1.Pemberontakan Rangga Lawe (1309)
2.Pemberontakan Lembu Sora (1311)
3.Pemberontakan Nambi (1316)
4.Pemberontakan Kuti (1319)
Diantara pemberontakan tersebut yang paling membahayakan adalah pemberontakan Kuti Karena hingga sampai dapat menguasai istana.Pada saat pemberontakan Kuti Jayanegara melarikan diri ke sebuah hutan yang bernama Badander,disana ia bertemu dengan Gajahmada dan pasukannya yang bernama pasukan Bhayangkara. Gajahmada dan pasukannya membantu Jayanegara dari pemberontakan Kuti ,Selanjutnya Gajahmada diangkat menjadi patih di Kahuripan dan kemudian menjadi patih di Kediri.
Jayanegara lalu wafat karena di bunuh oleh Tanca, seorang tabibnya sendiri,selanjutnya Tanca dapat di bunuh oleh Gajahmada.
Ratu selanjutnya adalah Trubuana Tunggadewi anak Gayatri.Tetapi masih banyak yang tidak puas sehingga ada pemberontakan lagi yaitu pemberontakan Sadeng dan Gajahmada berhasil menumpas pemberontakan itu sehingga Gajahmada diangkat menjadi Mahapatih di Majapahit.
Pada waktu penobatannya,Gajahmada mengucap sumpah Palapa (Tan amukti palapa) yang berisi :
“Tidak akan hidup bermewah-mewahan sebelum berhasil menyatukan seluruh nusantara di bawah kekuasaan Majapahit”.
Hayam Wuruk menjadi raja selanjutnya (1350-1389). Masa kejayaannya adalah bersama Mahapatih Gajahmada menjadi masa kejayaan Majapahit.Sumpah Gajahmada dapat terwujud ,seluruh nusantara berada di bawah kekuasaan Majapahit kecuali Pajajaran karena Hayam Wuruk melarangnya.Tapi jika Gajahmada tidak menaklukkan Pajajaran maka sumpahnya akan gagal,Maka Gajahmada memiliki ide yaitu dengan menikahkan Dyah Pitaloka putrid Sri Baduga Maharaja dari Pajajaran dengan Hayam Wuruk.
(Dengan syarat Dyah Pitaloka di jadikan Permainsuri, bukan selir)
##~             Ketika Sri Baduga Maharaja dan prajurit mengantarkan Dyah Pitaloka ke Majapahit.Gajahmada dan pasukannya menghadang dan mengubah perjanjian, yaitu Dyah Pitaloka di jadikan selir Hayam Wuruk,karena Sri Baduga tidak terima , terjadilah perang yang di sebut perang Bubat (Terjadi dii hutan Bubat). Sri Baduga dan Prajuritnya mati dan Dyah Pitaloka bunuh diri.
Setelah Gajahmada Wafat,Majapahit mulai turun pamor ,Hayam Wuruk mencari pengganti Gajahmada dan tergantikan oleh Gajah Enggon.
Hayam Wuruk selanjutnya di gantikan putrinya Dyah kusumawardani yang di bantu suaminya Wikramawardana. Saudara tiri Dyah Kusumawardani Wirabumi menuntut tahta majapahit sehingga terjadilah perang Paregreg (1401-1406) . Perang Paregreg = Perang Saudara .

Keterangan :
~Sebelumnya Hayam Wuruk telah membagi tahta menjadi 2 yaitu barat untuk Kusumawardani dan Timur untuk Wirabumi agar tidak terjadi perebutan kekuasaan.Namun setelah Hayam Wuruk meninggal , terjadilah perang paregreg tersebut.
Karena perang paregreg tersebut,Majapahit mendapat serangan dari kerajaan Demak pimpinan Raden Patah. Raja terakhir Kerajaan Majapahit adalah raja Brawijaya V hingga Majapahit runtuh.

**Penyebab runtuhnya kerajaan Majapahit :
1.Gajahmada tidak melakukan kaderisasi kepemimpinan di kerajaan Majapahit sehingga setelah wafatnya tidak ada tokoh yang dapat menggantikan kebesaran Gajahmada.
2.Adanya perang paregreg antara Wikramawardana dengan Wirabumi.
3.Wilayah-wilayah kekuasaan Majapahit melepaskan diri sehingga wilayah Majapahit menjadi kecil.
4.Munculnya perkembangan agama islam yang mengalahkan system ekonomi kerajaan Majapahit.
5.Serangan dari kerajaan Demak pimpinan Raden Patah.



NB:
1.Sebagian besar wilayah kekuasaan Majapahit tersebut di peroleh Gajahmada melalui peperangan,namun ada juga yang menyerahkan secara langsung karena tertarik dengan kebesaran nama Majapahit.
2.Setelah meninggalnya Gajahmada,satu demi satu wilayah kekuasaan Majapahit melepaskan diri dan akhirnya Majapahit mengalami kemunduran.Majapahit akhirnya benar-benar runtuh setelah diserang oleh kerajaan Islam Demak pimpinan Raden Patah.
3.Kemampuan Gajahmada dalam menyatukan nusantara sering disebut-sebut oleh Presiden Soekarno dan Moh. Yamin dalam pidato-pidatonya.Kemampuan Gajahmada tersebut memberikan inspirasi bagi bangsa kita bahwa bukan hal yang mustahil,meskipun terdiri dari banyak pulau,namun mampu bersatu untuk melawan penjajahan Belanda.
4.Pada masa kerajaan Majapahit,agama islam sudah mulai berkembang,namun bisa hidup rukun dengan agama hindu-budha dan Dinamisme-animisme .Kerukunan berbagai macamdan suku tersebut memberikan inspirasi bagi Mpu. Tantular menuliskan kata-kata Bhineka Tunggal Ika dalam kitab Sutasoma.